Monday, July 15, 2013

Ucup (Cerita Pendampingan)

( beberapa kali aku urungkan nulis cerita ini, tapi, dini hari ini aku coba memberanikan diri )
 
Bocah itu sudah terlihat beda dari awal aku kenal dulu. Sikap pemalunya masih terlihat, tetapi gaya anak-anak “dalam” sudah muncul di dirinya. Gaya yang bisa jadi adalah siasat untuk bertahan hidup.
hari itu ia mengangsurkan kertas lusuh, terlipat mirip peloran kepadaku. sebuah nomer telpon tertera disitu, yang katanya adalah milik “abang-abangan”nya. “telponin mas, aku mau minta pulsa” katanya lirih.
pulsa, adalah strategi untuk mendapatkan uang penyambung “hidup” di tempat itu.
Kubaca, tertera nama yang asing, yang ternyata adalah nama asli dari salah seorang anak yang selama ini sebenarnya aku kenali dengan sangat akrab.

Rupanya yang ia sebut abang si anak itu, yang beberapa waktu lalu sudah bebas.
Si abang itu ternyata sudah menancap di hati Ucup, sebut saja nama bocah itu. “Ia berjanji mencari bapak saya mas”.
Degg.. aku seperti tertampar.
Aku memang sempat menjanjikan mencari orang tua bocah itu, agar mengurus pembebasannya. Sebagus-bagusnya tempat itu, tetap tidak layak untuk si Ucup, juga bocah-bocah lainnya yang bisa jadi karena keterpaksaan atau karena korban orang dewasa, akhirnya mendekam di tempat itu.
Si ucup, kembali ke bocah itu, tampak memain-mainkan ujung celananya. Celana hitam kedodoran yang katanya ia dapat dari kebaikan hati abang-abangannya yang sudah bebas. karena kepanjangan celana itu di potong dan ditisik dengan kasar. Semuanya dilakukan sendiri oleh bocah berumur tak lebih 13 tahun itu. Tisikan yang dilakukan dengan lidi, karena jaruma dalah benda terlarang di tempat itu.
kemandirian yang harus dilakoni oleh bocah itu. Ponakanku di umur sama dengan Ucup masih teriak-teriak kalau tidak di kasih uang saku minimal 5 ribu. Itu di jogja. Dan si Ucup, di usianya, dengan kesalahan yang sebenarnya bisa jadi karena tekanan hidup, Harus menajadi dewasa secara instant, mengurus dirinya sendiri termasuk mencari segala cara supaya bisa bertahan di tempat itu. Meniru strategi teman sebelumnya, dengan meminta pulsa yang akan ditukar sejumlah uang, untuk sekedar jajan.
Memang, ada perkembangan lumayan yang terjadi pada Ucup. Awal ikut komik curhat ia sangat tidak pede untuk sekedar menggores gambar. Mengeja tulisan pun terbata-bata, apalagi merangkai abjad. Tetapi sekarang komiknya sudah bicara. Abjad sudah tersusun menjadi kata. (Jeany yang terakhir rajin membimbing dia, karena aku sering mangkir dari kelas komik:P)
Hal-hal kecil itu yang sering membuat kami sayang untuk meninggalkan kelas komik ini, meski kadang dilanda kebosanan yang amat sangat.
Kelas yang sudah tak sekadar jadi ruang curhat, tetapi juga jadi tempat belajar membaca, menulis, terutama untuk anak-anak kecil semacam Ucup yang memang terlantar pendidikannya.
Kembali lagi ke ucup. Ia tampak asik dengan kelompoknya lagi, setelah menyerahkan “pesannya” itu. Kembali bergabung dengan anak-anak dari sekolah luar lapas yang hari itu ikut kegiatan workshop komik curhat gabungan antara SMP dan SMA dari wilayah Tangerang, dengan teman-teman Kolaps, yang hasil dari workshop itu rencananya akan dipamerkan bersama-sama.
Kelegaan kecil dari Ucup yang merupakan tonjokan keras buatku…
Lagi-lagi.. Tak boleh sembarangan berjanji.

@seblat |2009