Monday, November 26, 2012

Kisah: Ketika Penjara Tak Lagi Membuat Jera (Penjera)

Barusan saya ditelpon oleh sebut saja Opay, salah seorang anak yang sudah delapan kali masuk penjara, dan menjadi bagian dari kawan-kawan yang berkumpul di komunitas RTJ (komunitas pendamping anak-anak yang bebas dari penjara)
Opay sudah sampai dirumahnya di Sekayu, Sumatra Selatan.
Saya menyarankan Opay untuk balik ke kampung halaman saja, agar tak masuk penjara ke sembilan kali. Untuk meyakinkan dirinya, saya menelpon bapak Opay. Mengabarkan anaknya sudah bebas, juga meminta ijin, agar bapak si Opay mau menerima kembalinya si anak bengal itu.
Bapaknya cukup baik merespon saya.
Beliau sebenarnya juga berharap agar anaknya pulang saja.
Di kampung ada ladang yang bisa dijaga. Lumayan penghasilannya.

Saya sempat ngobrol panjang dengan Opay, yang sekarang sudah umur 25 tahun, tentang kenapa ia suka banget keluar masuk penjara.
Saya mengenal Opay tahun 2006 saat di kelas komik curhat Lapas Anak Pria Tangerang.
Opay menjadi salah satu peserta komik curhat.
Gayanya yang “serondolan” menarik perhatian saya. Hobi berantem di penjara, cari perhatian dan suka mendominasi teman-temannya adalah beberapa sifat khasnya.

Tahun 2007 kembali saya bertemu Opay. Masuk lagi setelah bebas di akhir tahun 2006.
Ini kali ke empat dia masuk penjara.

Opay pertama kali masuk penjara, di Palembang, gara-gara kasus pencurian.
Waktu itu ia masih berumur 14 tahun. Meski berlatar keluarga yang lumayan berada, Opay hobi mencuri.
Tetapi selama saya bergaul, dia tak menuntukkan tanda-tanda klepto.

Opay masuk penjara kedua kali karena apes.
Ceritanya ia lagi tiduran di masjid (meski bandit, anak ini jago ngaji lho) ada bapak-bapak yang menitipkan tas kepada si Opay.
Mendadak ada operasi anak jalanan yang dilakukan polisi.
Opay diperiksa KTP,dan ia belum punya (meski sudah 17 tahun)
Apesnya lagi, si Opay juga dituduh menghipnotis si bapak yang titip tas ke dirinya.
Tuduhan itu dilontarkan oleh salah seorang polisi yang pernah bertemu di polsek saat kasus sebelumnya.
Singkat cerita Opay digelandang ke kantor polisi dan dipaksa mengakui perbuatannya. Karena tidak tahan di sisksa polisi, akhirnya Opay “ngaku”
Maka, dua kali ia masuk penjara.

Sekeluar dari penjara di Palembang itu, Opay kemudian pindah ke Indramayu, rumah kakek dari ayahnya.
Saat tidak punya uang, Opay memalak. Kelakuannya itu, karena Opay yang sejak kecil belajar silat, sangat percaya diri dengan kemampuan bela dirinya (makanya hati-hati kalau mengajari anak ilmu bela diri. Kejadiannya bisa berbalik jadi alat menekan orang lain :P)
Pada suatu hari Opay apes, sehabis malak ia dicokok polisi yang melihat aksinya.
Untuk ketiga kalinya ia masuk penjara di salah satu kantor polisi di Indramayu.

Sekeluar dari penjara, Opay pindah ke Senen, mengikuti temannya.
Ia menjadi preman remaja di stasiun Senen.
Di Senen, ia kembali berulah. Kali ini ia membajak bis Mayasari Bakti.
Bersembilan ia membajak bis tersebut.
Untung ada polisi yang mengetahui aksinya. Gerombolan Opay kocar-kacir, beberapa babak belur dihajar massa. Opay sempat bisa melarikan diri, tetapi tertangkap polisi di dekat rel stasiun Senen.
Kembali ia masuk penjara. Lalu ia masuk ke LApas Anak Pria Tangerang
Disanalah kami bertemui.

Sekeluar dari Tangerang, kembali ia berulah. Menodong orang di Grogol.
Apes, ia ketangkap polisi karena korbannya berteriak minta tolong.

Lagi-lagi masuk penjara, dan ketemu saya lagi.
Masih dimasukkan ke lapas anak. Padahal jelas-jelas dari tampangnya sudah terlihat sebagai anak umur duapuluhan tahun.

Petualang si Opay berlanjut.
Cukup lama tidak ada kabar, tiba-tiba ia SMS saya. Mengabarkan sekarang di Senen lagi.
Lalu bertanya alamat saya di Depok.
Tak lama anak itu mucul di markas RTJ. Kami ketemu lagi.
Ia bercerita kalau sempat masuk penjara lagi setelah pertemuan kami terakhir tahun 2007.
Kasusnya sama. Memalak orang.
Memang tidak ada jeranya.
Itu yang ke enam kali ia masuk penjara.
Setelah itu, Opay menyatakan bertobat. Katanya pengen jualan saja.
Lalu kami patungan membelikan dagangan Opay berupa: korek gas berbentuk tempat rokok, gas tabung untuk ngisi korek, dan kaset bekas.

Opay berjualan di selasar jalan masuk menuju stasiun senen.
Setalah itu, karena kesibukan saya jarang kontak-kontakan dengan si Opay.
Sampai pada suatu hari saya ditelpon Opay. Ia ketangkap polsi saat razia senjata tajam.
Ia meminta saya mengurus pembebasan, karena pasal darurat katanya bisa di nego.
Saya kemudian ke posek Senen. Berusaha mengurus Opay dengan bertemu dengan komandan yang menangkap Opay.
Dari pak komandan polisi itu saya mendapat cerita, betapa bencinya pak komandan dengan Opay. Anak yang sangat tidak sopan saat di interogasi.
Pak komandan meminta saya tidak mengurus  Opay. Biarkan saja masuk penjara. Negosiasi dengan uang pun tak diterima.
Dalam hati sebenarnya saya bersyukur, tidak jadi mengeluarkan uang.. hehehe.

Saya berpikir, tujuh kali masuk penjara akan benar-benar membuat Opay jera.
Ternyata tidak.
Saya mendapat kabar (lagi) dari salah seorang teman yang menjadi pendamping napi yang terpapar HIV/AIDS di lapas Salemba, kalau ia bertemu Opay.”halah!”
Kasus terakhir agak mendingan. Ia membela temannya yang dikeroyok tentara. Temannya salah palak. Yang dipalak rupanya tentara. Ada teman-temannya pula.
Akhirnya dua orang itu berkelahi dengan enam tentara.
Tentu saja kalah. Akhirnya di jebloskan lagi ke penjara.
Masuk polsek Senen dengan komandannya masih yang saya temui di kasus Opay sebelumnya (terbayang, si komandan tersebut pasti geleng-geleng sampai pusing kepalanya :D)

Sebebas dari penjara untuk ke delapan kalinya, Opay datang ke ruamah saya. Itu beberapa hari yang lalu, yang kemudian saya sarankan untuk pulang saja dulu.
Siapa tahu itu akan "memutus karmanya," yang bolak-balik masuk penjara.
Mungkin Jawa (Jakarta) tak bagus buat dia. Jadi dengan balik ke Palembang (Sekayu) ia benar-benar bisa memulai hari dengan lebih jernih dan terjauh dari “mata rantai penjara” yang seolah sudah  menjadi jalan hidupnya.

Saya kemudian berpikir, dimana fungsi penjara sebagai penjera?
Apakah karena si Opay dipenjara terlalu dini (14 tahun) makanya ia seolah imun dengan penjara? (makanya kampanye “hapus penjara anak” jadi dirasa perlu)

Kekerasan demi kekerasan yang ia rasakan sejak dari remaja, justru menempanya menjadi tangguh menghadapi penjara yang keberadaannya diniatkan menjadi penjera dan menjadi  momok bagi sebagian orang.

Saya menulis ini, juga setelah membaca artikel tentang resiliensi yang dipublis oleh jurnal online UGM (saya sertakan link: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5131 )
Di satu sisi, saya melihat Opay sudah resiliensi terhadap hidupnya.
Resiliensi yang diartikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan teguh di dalam situasi sulit justru membuat Opay tak jera dengan penjara.
“Ah, paling seperti itu juga rasanya.”
Si Opay bahkan menemukan celah untuk bisa bertahan hidup di penjara.
Dengan bekal stikma residivis, Opay bisa memalak napi “kijang baru” yang masih hijau di penjara tahanan polisi atau di lapas.
Bahkan lebih dahsyat lagi, ia bisa menjadi penguasa blok atau bahkan penguasa penjara.
Dengan itu penjara akan  menjadi tempat nyaman buat dirinya.
Bahkan ia bisa bilang “di rutan lebih gampang nyabu daripada di lapas”
Temuan yang masih perlu dibuktikan sih.
 Dengan kondisi tersebut, pantaslah ia kemudian bolak-balik masuk penjara.

Meski di pertemuan kemarin, ia menyatakan tidak ingin masuk lagi.
Sama di pertemuan sebelumnya.
Makanya, kemudian saya menyarankan ia untuk “balik kandang”
Siapa tahu itu bisa menjadi cara, karena memang saya belum menemukan cara apa yang bisa membuat ia benar-benar JERA
Oh ya, kemarin saat Opay mampir ke rumah saya, ia mengajak teman seperkaranya yang rekor masuk penjaranya tak kalah sama Opay. Tujuh kali. Sama seperti Opay, Rama, sebut saja namanya, masuk penjara dari umur 15 tahun.
Nah...

@seblat








No comments: